*Ingatlah Lima Perkara Sebelum datang Lima perkara*

Selasa, 03 Mei 2011

Matan ghoyah wa tqrib 1

Baris 1: Man yuriidullaha bihi khairan yufaqqihu fiddiin

Kalimat tersebut diatas berasal dari Hadits yang dijelaskan dalam syarah Al Bajuri. Yuriidu, artinya menghendaki. Yufaqqihuu artinya memahamkan (allah) terhadapnya (orang yang menghendaki tsb). Arti ringkasnya : "Bila Allah mengendaki seseorang itu baik, maka ia akan dipahamkan dengan agama". Jadi, pemahaman agama itu (dan semua hal di dunia) tidak terjadi karena 'ndilalah' atau kebetulan, tetapi atas kehendak (planning, arrangement) Allah. Atau dengan bahasa lain, seseorang itu akan paham bila ia (memulai dengan niat/latar belakang hati yang) baik/khairan.

Heading pada baris 1 ini adalah ciri dari kitab fiqih klasik yang tidak secara langsung menuliskan keterangan sumber haditsnya, meskipun yang dikutip adalah hadits. Keterangan dari hadits ini baru diuraikan dalam kitab syarah yang ditulis belakangan, yaitu pada kitab Al Bajuri. Disamping hadits, kitab fiqih juga memuat qiyas dan ijma'. Qiyas adalah analogi atau mempersamakan suatu kasus dengan kasus serupa atau dengan adanay ilat. Sedang ijma' adalah kesepakatan atau keumuman pandangan ulama terhadap sesuatu

=-=-=-=-=
Powered by Blogilo

Minggu, 27 Februari 2011

Tafsir 'Ali Imran 75-80

Kumpulan ayat ini terkait dengan kumpulan ayat yang lalu yang menguraikan sifat-sifat ahli kitab, khususnya oran-orang Yahudi.

Ayat 75:

Yaitu bahwa mereka mengklaim sebagai kelompok Almasih addiniyyah atau yang paling berhak dititipi risalah, dimana orang-orang lain tidak pernah diberi amanah sebelumnya dari Tuhan. Tapi Allah menegaskan bahwa sikap hianat adalah sikap yang paling buruk pada risalah agama mana saja. Dan Allah membukakan rahasia sikap (hianat) mereka itu.

Per frasa:

  • Tidak semua ahli kitab hianat
  • Bila diberi amanah (oleh orang dari luar golongannya) yang besar (dari ukuran harta/dunia) dia amanah, tapi bila amanah itu kecil mereka hianat. Mereka tidak merasa bersalah bila hianat terhadap ummiyyin (orang-orang arab, yang pada waktu itu umumnya buta huruf).
  • Secara luas/umum, ini adalah kritikan Alquran terhadap orang-orang yang hianat. Misalnya, orang Islam yang menghianati perjanjian kerja/ekonomi atas partnernya yang non-muslim, dan mengatakan: "biarkan saja, dia kan kafir".
  • Sikap tersebut bertentangan dengan hadits: "Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah".

Ayat 76:

Frasa 1:

" Balaa ... wattaqaa" dan

" fainna ... muttaqiin"

bila dipandang utuh adalah gabungan frasa:

" man aufa bi ahdihi" dan

" muttaqiin"

dengan penghubung wawu (=dan)

yang berarti: "orang tidak bertaqwa bila tidak menepati janji". Karena janji diri adalah kontrak.

Secara bahasa, janji terdiri dari 2:

  • Al wa'du, yaitu janji sepihak/individu.
  • Al ahdu, yaitu janji kontrak manusia dengan pihak lain.
  • Misalnya, sholat adalah al ahdu manusia terhadap Allah. Terkait dengan hal ini, Allah juga berjanji kepada manusia bila ia menjaga sholat, maka akan masuk surga.
  • Contoh lain, kampanye pada isinya adalah janji/kontrak pemimpin terhadap rakyat. Ibnu Taimiyah mengatakan, negara akan hancur bila pemimpin hianat terhadap rakyat, meskipun ia muslim. Sebaliknya, bila ia adil, akan dijaga oleh Allah, meski pemimpinnya tidak Islam.

Frasa 2:

Taqwa adalah kebaikan spiritual.

Hadits: Taqwa ada di hati. Ia adalah menyadari kehadiran Allah didalam hati.

Umar ditanya tentang taqwa, maka beliau r.a. menjawab: Bagaimana bila engkau berjalan ditempat yang banyak duri? Maka tentu orang akan sangat hati-hati.

Dari kedua hal diatas, disimpulkan bahwa orang hianat (sejak awal menjabat atau kemudian) adalah karena kesadarannya terhadap kehadiran Allah telah hilang.

Ayat 77:

Keputusan dari Allah terhadap orang-orang yang hianat.

Ayat 78:

Bila pada ayat sebelumnya konteks hianat adalah terhadap dunia, maka pada ayat inikonteksnya adalah terhadap agama Allah. Mereka (orang-orang yang hianat itu) menukar janji Allah dengan harga yang murah (yaitu dunia). Jadi, tipisnya kesadaran terhadap kehadiran Allah akan mengakibatkan disorientasi hidup kepada dunia atau harta.

Dari pelajaran diatas dalam kaitannya dengan peringatan Maulid 1432H, ada 2 hal yang bisa dijadikan modal untuk senantiasa mencontoh rasulullah s.a.w., dengan tanpa menelisik semua sirah, yaitu:

  • Tidak mungkin orang itu akan mencapai ketaqwaan bila orientasinya untuk hianat atau untuk dunia, BUKAN karena berharap kepada Allah dan iman kepada hari akhir.
  • Senantiasa berdzikir, menyebut dengan lisan dan mengingat dengan hati.

Frasa terakhir:

Bila 2 orang berjanji kemudian ada yang berhianat, maka sesungguhnya ia hianat terhadap Allah. Atau dengan kata lain, orang itu telah menukar janjinya dengan harga yang murah, karena berharap pada selain Allah (dunia).

Ayat lain yang terkait dengan sifat hianatnya orang Yahudi dan kecenderungannya kepada dunai adalah di Surat Albaqarah, ketika Nabi Musa a.s. meminta mereka berdoa menggunakan kata hittah (=astaghfirullah), sedang orang Yahudi menggantinya dengan kata hintah (=gandum).

Ayat 79-80

Pertama, frasa ini lebih ditujukan untuk Nabi Isa a.s. Kedua, terkait dengan tawaran orang-orang Yahudi Najran: "apakah kamu ingin agar kamu yang disembah?"

Ibadah akan memunculkan 3 hal, yaitu:

  • Istislaam, melahirkan kepasrahan
  • Tunduk, sebagaimana ketundukan dalam lingkungan ABRI
  • Attadhiah, melahirkan ketawadhu'an. Menganggap diri hina, ditujukan hanya kepada Allah.

=-=-=-=-=
Powered by Blogilo

Selasa, 22 Februari 2011

Al-Qur’an dan Angka 7

Oleh Jamal D. Rahman

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ

(Rasulullah SAW bersabda: “Al-Qur’an ini diturunkan atas 7 huruf.”) (Shahîh al-Bukhârî, Hadis Nomor 4608).

Kita tidak tahu apa maksud sesungguhnya 7 huruf dalam Hadis di atas. Para ulama berbeda pendapat soal itu. Ada yang mengatakan 7 huruf itu berarti 7 jenis bacaan atau seni baca Al-Qur’an; ada yang mengatakan 7 huruf itu sekadar angka untuk menunjukkan banyak —jadi tidak menunjuk pada angka yang sesungguhnya. Yang pasti, 7 huruf tidak mungkin berarti apa yang biasa kita fahami secara harfiah tentang 7 huruf. Al-Quran jelas menggunakan seluruh huruf Hijaiyah yang berjumlah 28, 29, atau 30 huruf (perbedaan jumlah huruf ini tergantung pada apakah hamzah dan lam-alif dianggap huruf tersediri atau tidak). Bagaimanapun, tampaknya kita tidak akan menemukan pengertian yang benar-benar memuaskan tentang maksud 7 huruf dalam Hadis di atas.

Yang dapat kita ketahui dengan pasti adalah angka 7 sering digunakan dalam Al-Qur’an. Misalnya, Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan 7 langit (a.l. QS 41:12 dan QS 65:12). Di tempat lain dikatakann pula bahwa Allah menciptakan 7 langit bertingkat-tingkat (a.l. QS 67:3 dan QS 71:15). Ketika melukiskan keutamaan infaq, Al-Qur’an mengibaratkannya dengan sebiji benih yang menumbuhkan 7 bulir atau cabang (QS 2:261). Al-Qur’an juga menyebut 7 laut, 7 hari, 7 malam, dan 7 pintu neraka.

Dalam kisah Nabi Yusuf (QS 12:43, 12:46-48), diceritakan bahwa raja Mesir bermimpi 7 ekor sapi betina gemuk dimakan oleh 7 ekor sapi betina kurus. Nabi Yusuf, yang ketika itu sedang dipenjara, menafsirkan mimpi itu dengan baik. Kata Nabi Yusuf, mimpi itu berarti, Mesir akan mengalami musim panen selama 7 tahun dan akan mengalami masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Nabi Yusuf menyarankan agar hasil masa panen dihemat sebagai persediaan kebutuhan pada masa paceklik. Sang raja puas dengan tafsir mimpi itu, dan karenanya Nabi Yusuf dibebaskan, bahkan diangkat jadi pejabat tinggi kerajaan. Begitulah angka 7 telah “menyelamatkan” bahkan “menaikkan” posisi sosial-politik Nabi Yusuf di Mesir, di mana dia mula-mula adalah seorang budak.

Di samping angka 7 digunakan secara tersurat seperti contoh-contoh di atas, dalam beberapa bagian Al-Qur’an angka 7 digunakan secara tersirat. Yang menarik, angka tujuh digunakan secara tersirat justru pada hal-hal sangat penting dan mendasar. Pertama, angka 7 digunakan secara tersirat dalam wahyu pertama. Kita tahu, ayat pertama dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad berbunyi iqra’ bismi robbikalladzî khalaq (“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”). Sebagai sebuah kalimat, wahyu pertama ini terdiri dari 7 kata (unsur). Yaitu (1) iqra’ (bacalah), (2) bi (dengan), (3) ismi (nama), (4) robbi (Tuhan), (5) ka (mu), (6) alladzî (yang), (7) khalaq (menciptakan). Jadi, sejak wahyu pertama Al-Qur’an secara tersamar sudah menggunakan angka 7.

Kedua, di dalam Al-Qur’an, proses penciptaan dirumuskan dengan kun fayakûn (“Jadilah, maka ia pun jadi”). Kun fayakûn bahkan merupakan konsep penciptaan yang sangat dasar, yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta baik secara makro maupun mikro pada tingkat metafisis. Nah, kalimat atau konsep kun fayakûn (“Jadilah, maka jadi”) ini terdiri dari 7 huruf (dalam aksara Arab), yaitu kâf, nûn, fâ’, yâ’, kâf, waw, dan nûn.

Ketiga, Al-Qur’an menyebut 7 ayat yang dibaca berulang-ulang atau yang paling sering dibaca (as-sab`u-l matsânî). Menurut para ulama, 7 ayat yang dibaca berulang-ulang itu adalah surat Al-Fatihah, yang memang terdiri dari 7 ayat. Sudah tentu surat Al-Fatihah —yang dibaca pada setiap raka’at shalat itu— merupakan surat yang sangat penting, yang karenanya disebut juga sebagai ibunya Al-Qur’an (umm-u ‘l-Qur’ân). Nah, sekali lagi, surat pertama dalam Al-Qur’an itu terdiri dari 7 ayat.

Keempat, yang tak kalah penting, atau bahkan lebih penting lagi, kalimat tauhid yang merupakan dasar iman seseorang juga terdiri dari 7 kata, baik dalam bahasa Arab maupun dalam terjemahan Indonesianya. Kalimat tauhid itu adalah lâ ilâha illal-Lâh Muhammadur rosûlul-Lâh (“tiada Tuhan selain Allah, Muhammad rasul Allah”).

Perlu ditambahkan lagi beberapa ibadah yang berkaitan dengan angka 7. Yaitu, thawaf mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali. Sa’i, berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, dilakukan sebanyak 7 kali. Di Mina, jama’ah haji melempar tiga jamarat —yang merupakan lambang setan itu— masing-masing dengan 7 kerikil.

Kalau Allah SWT sering menggunakan angka 7, baik secara eksplisit maupun implisit, maka pastilah penggunaan angka 7 itu bukan kebetulan. Apalagi angka 7 digunakan dalam hal-hal mendasar seperti kalimat tauhid, surat Al-Fatihah, dan amal-ibadah. Kalau seseorang seringkali menggunakan pakaian warna hijau, misalnya, apalagi dalam acara-acara penting, maka pastilah itu bukan kebetulan. Kita bisa menduga bahwa warna hijau adalah warna kesukaannya. Demikianlah maka kalau Allah sering menggunakan angka 7, kiranya patut kita renungkan bahwa Allah SWT tampaknya menyukai angka 7. Dalam konteks itulah, kita bisa faham kenapa beberapa tradisi intelektual dan tradisi keagamaan dalam masyarakat Islam dikaitkan dengan angka 7. Dalam tasawuf, misalnya, kita kenal ajaran martabat 7, dan dalam tradisi doa bersama (tahlilan) untuk orang meninggal dikenal hari ke-7.

Maka, kalau Nabi Muhammad mengatakan bahwa Al-Quran diturunkan dalam 7 huruf, tampaknya beliau memang tidak bermaksud mengatakan sesuatu dengan maksud yang jelas tentang angka 7 itu. Yang beliau lakukan adalah menyebut angka yang disukai oleh Allah SWT, dan membiarkan angka tersebut tetap mengandung rahasia ilahi. Wallâhu a`lamu bisshawâb. []

Senin, 14 Februari 2011

Ketika Dosa Lebih Besar Dibanding Ampunan Tuhan

Diceritakan kembali oleh Jamal D. Rahman

Agak tergopoh-gopoh, dengan wajah tegang, Umar ibnul Khatthab menghadap Rasulallah SAW, pada suatu siang yang terik.
“Ada apa?” bertanya Rosulullah dengan nada masygul.
Dilihatnya wajah Umar berkaca-kaca dan memerah, menahan amarah. Tapi di balik garis-garis geram di wajah Umar, Rosulullah melihat juga perasaan bingung. Mungkin juga rasa takut. Umar berusaha menyembunyikan galau perasaannya. “Tenang, sahabatku. Tenangkan hatimu,” Rosulullah menenangkan Umar.
Umar terdiam. Sedikit sesenggukan. Wajahnya merah. Matanya basah.
“Ada apa?”
“Seorang pemuda. Seorang pemuda, Rasulullah.”
“Seorang pemuda? Ada apa dengan pemuda itu?”
“Dia di luar.”
“Suruh dia masuk.”
Dengan merunduk, pemuda itu masuk. Dia berjalan pelan dengan langkah penuh ketakutan. Dia tak berani menatap Umar, apalagi Rosulullah. Dia terus merunduk, sesenggukan. Wajahnya pucat. Airmatanya mulai cucur. Tak pernah dia merasa sedemikian ketakutan seperti saat ini. Tak pernah merasa bersalah seperti pada siang seterik ini.
“Kenapa kamu?”
Pemuda itu masih sesenggukan. Tak kuasa menjawab Rosulullah.
“Kenapa kamu?” Rosulullah mengelus bahu sang pemuda.
Hening. Rumah Rosulullah sunyi. Bumi diam. Langit diam. Umar diam.
Setelah agak lama, pemuda itu berkata. Patah-patah suaranya.
“Saya,” katanya dengan suara bergetar, “tak berani menghadapmu, wahai Rosul. Itu sebabnya saya menghadap Sayidina Umar. Entah kenapa, Sayidina Umar membawa saya menghadapmu, ya Rasul.”
“Katakan apa yang kaukatakan padaku tadi,” kata Umar, antara rasa marah dan kasihan.
“Saya malu.”
“Kenapa kamu?” tanya Rosullah.
“Malu saya, Rasul.”
“Sesuatu kauceritakan pada Umar tapi kausembunyikan dariku?”
“Saya takut, Rosul.”
“Pernahkah kaulihat aku marah?”
Pemuda itu menggeleng. Lalu katanya, “Saya seorang pendosa.”
“Allah Maha Pengampun. Dosa apa yang telah kaulakukan?”
“Besar, sangat besar. Dosa yang saya lakukan sangat besar.”
“Apa?”
“Saya takut sekali.”
“Apakah kamu membunuh orang?”
“Dosa saya lebih besar daripada dosa membunuh orang.”
“Kamu syirik?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding kasih sayang Allah?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding ampunan Allah?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding singgasana Allah?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding Allah SWT?”
Pemuda itu terhenyak. Mulutnya terkunci. Merunduk lebih rendah lagi. Sesenggukan lebih keras lagi. Wajahnya pucat pasi.
“Ayo, sayang, ceritakan apa dosa yang telah merisaukanmu,” Rasul membujuk lembut. “Allah lebih besar dibanding dosamu, bukan?”
“Saya...,” terbata-bata dia berkata, “adalah seorang penggali kubur. Kemaren, seorang gadis cantik sekali dikubur di pekuburan tempat saya bekerja. Sudah lama saya jatuh hati pada gadis berkulit langsat itu. Dalam keadaan meninggal pun, saya tetap jatuh hati padanya. Dan terjadilah dosa itu?”
“Dosa apa, Pemudaku?”
“Ketika kuburan sepi sekali, saya gali kuburannya. Parasnya masih cantik sekali. Tak pernah saya melihat perempuan secantik mayat di depan saya itu. Saya ...,” dia menahan airmatanya.
“Kau apakan dia?” Rasul menahan nafas.
“Saya ... saya menyetubuhinya,” dia meraung sekeras-kerasnya. Telungkup. Bersujud.

Rasulullah merah padam seketika. Berdiri, diikuti Umar di sisi kanan belakangnya. Wajah mereka terbakar. Menyala. Berkobar.
“Pergi kamu!” Rasul mengusir pemuda itu. Dia marah besar. Dia murka.
Semesta terbakar hening. Sunyi pekak. Raung tangis hati sang pemuda membelah-belah langit. Matahari sejengkal di atas ubun-ubun.
Pemuda itu pun pergi, memanggul dosa yang tak kuasa lagi ditanggungnya. Dia berjalan terhuyung-huyung oleh gebalau perasaan berdosanya yang terasa lebih berat dari seluruh semesta. Dia harus meninggalkan bumi yang pahit ini, membawa seluruh perasaannya yang hancur berkeping-keping. Dia menembus gurun panas di bawah terik matahari yang membakar. Di tengah gurun itu, dia adalah sebutir debu yang tak berdaya, tanpa suara, tanpa apa, tanpa siapa. Dan dia pun rubuh. Terjerembab. Mencium debu.
“Tuhanku,” dia bergumam dengan sisa tenaga di tenggorokannya, “akulah pendosa. Akulah pendosa, ya Tuhanku. Telah kudatangi Rasul-Mu, berharap memberiku syafaat agar aku diterima kembali di sisi-Mu. Tapi, Kautahu, karena dosaku tak tertanggungkan, dia pun mengusirku.”
Tenggorokan yang kering. Matahari membakar gurun yang sunyi. Mata yang basah. Angin yang mengipas-ngipas di atas debu.
“Maka kini aku mengetuk pintu-Mu, memohon kiranya Kau memberiku syafaat bagi hamba-Mu pendosa ini. Aku tahu, Engkau Maha Pengasih, dan Engkaulah satu-satunya harapanku. Jika tidak, kirimkanlah kiranya kepadaku api. Bakarlah aku sekarang juga, sebelum Kaubakar aku dalam api neraka ....”
***

Jibril mengetuk pintu Rasul.
“Salam Tuhan untukmu, ya Rasul.”
“Wa’alaikum salam.”
“Junjunganku, izinkan aku menyampaikan pesan Allah untukmu. Dia bertanya, ‘Engkaukah yang menciptakan hamba-Ku?’”
“Allah lah yang menciptakan mereka, yang menciptakan aku.”
“Engkaukah yang memberi mereka rejeki?”
“Allah lah yang memberi rejeki.”
“Engkaukah yang menerima taubat hamba-Ku?
“Allah lah yang menerima taubat dan mengampuni hamba-Nya.”
“Ya Rasul, inilah firman Allah untukmu, ‘Telah Kuutus hamba-Ku kepadamu untuk mengakui sebagian dosanya, tapi kau usir dia justru karena dia mengaku telah berbuat dosa. Bagaimana jika hamba-Ku yang lain datang kepadamu dan mengakui segunung dosa mereka? Kuutus engkau jadi Rasul sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Ku. Maka jadilah pemberi syafaat untuk memaafkan mereka yang berdosa. Yang berdosa besar sekalipun.’ ”
Semesta diam. Matahari diam. Rasul diam. Umar diam, menduga-duga hati Rasul yang kini merunduk.
Tiba-tiba Rasul, “Panggil ke mari pemuda tadi!” Suaranya pelan. Nyaris tak terdengar.

***

Pemuda itu tiba di rumah Rasul tepat ketika sang baginda shalat Magrib, menjadi imam para sahabat yang agung. Ketika didengarnya Rasul membaca surat At-Takatsur, tubuh pemuda mendadak dingin. “Bermegah-megah telah membuatmu lalai,” terdengar suara Rasul bergetar, menggetarkan langit-langit batin sang pemuda yang kini terasa akan runtuh. Tubuh pemuda itu kian dingin. “Sampai kau masuk ke liang kubur,” Rasul melanjutkan ayat suci.
Sampai kau masuk ke liang kubur. Terbayang kuburan tempatnya bekerja. Terbayang kuburan gadis yang pernah digalinya. Terbayang wajah gadis yang ... tiba-tiba matanya gelap. Dia rubuh. Tanpa suara. Tanpa debu.[]

Selasa, 08 Februari 2011

Manusia yang Membuat Malaikat Cemburu

Diceritakan oleh Jamal D. Rahman

Malaikat senantiasa turun ke bumi, terutama pada malam-malam penuh keagungan seperti bulan Ramadan. Dilihatnya umat Islam beramai-ramai shalat tarawih di mesjid-mesjid, di langgar dan surau, di rumah dan kantor. Di kota-kota, di dusun-dusun, di gang-gang, di pelosok desa. Berbahagialah malaikat menyaksikan umat manusia mengagungkan asma Allah. “Alangkah bahagia Nabi Muhammad sekiranya menyaksikan bibir umatnya tak henti-henti menyebut nama Tuhan, berzikir, membaca Al-Qur’an, dan bershalawat untuknya,” malaikat bergumam dalam dirinya. Malaikat tak kuasa menahan bahagia. Matanya mulai menggeremang, berkaca-kaca. Airmatanya tetes jadi berkah bagi umat manusia.

Dilihatnya manusia bertasbih, sama dengan malaikat bertasbih. Dilihatnya manusia bertakbir, sama dengan malaikat bertakbir. Dilihatnya manusia bertahmid, sama dengan malaikat bertahmid. Alangkah agung manusia-manusia ini, bergumam lagi malaikat. Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid, dan bershalawat seperti para malaikat yang tak pernah melakukan dosa apa pun. Alangkah bahagia manusia-manusia agung ini.

Tiba-tiba malaikat terdiam. Tertegun. Terhenyak. Diperhatikannya kini dengan seksama: manusia-manusia itu rupanya tak hanya mengagungkan asma Allah. Mereka tak hanya melakukan apa yang dilakukan malaikat. Mereka melakukan juga apa yang tak dilakukan malaikat. Ternyata ada perbedaan antara apa yang dilakukan manusia dan apa yang dilakukan malaikat di hadapan kemahaagungan Tuhan. Malaikat masygul. Terdiam. Airmatanya kian deras mengalir. Airmata bahagia itu kini berubah jadi airmata kesedihan yang dibakar oleh rasa cemburu.

Apa yang membuatmu cemburu pada manusia-manusia yang sombong dan hina itu, wahai malaikat yang agung? Tidakkah engkau telah mendapat segalanya dari Tuhan? Tidakkah engkau selalu berada di sisi Tuhan, dan tak pernah mendapat murka? Sedangkan manusia-manusia itu seringkali tidak tahu diri, congkak, sombong, membuat kerusakan di muka bumi, dan saling menyakiti satu sama lain. Bukankah mereka lebih busuk dibanding iblis? Kenapa engkau cemburu pada mereka?

“Mereka melakukan tiga hal yang tak kami lakukan,” katanya lirih. “Berbahagialah di mata Tuhan mereka yang melakukan tiga hal itu.”

Pertama, di antara gema takbir, tasbih, tahmid, dan shalawat itu, malaikat mendengar gema lain yang tak pernah mereka dengar di kalangan malaikat. Yaitu gema istigfar, gema permohonan ampun yang kerapkali diiringi tumpahan airmata penyesalan yang amat dalam. Betapa indah gema istigfar membumbung ke langit-langit malam yang sunyi, menembus lapisan-lapisan semesta, hingga mencapai arasy Tuhan yang penuh rahasia. Malaikat cemburu pada manusia yang beristigfar. Sebab, mereka tak pernah beristigfar, karena mereka memang tak pernah berbuat dosa. Adakah yang lebih disukai Tuhan selain airmata istigfar para hamba yang penuh rasa sesal?

Kedua, di antara gema istigfar itu, manusia ternyata juga berbagi dengan sesama. Mereka menyisihkan sebagian harta mereka, berinfak dan bersedekah. Juga mengeluarkan zakat. Mereka membantu saudara-saudara mereka yang fakir lagi miskin, meringankan beban hidup anak-anak yatim. Betapa ingin malaikat melakukan hal yang sangat disukai oleh Allah Swt ini. Tapi mereka tak bisa melakukannya. Bukankah malaikat tak punya harta, dan di antara malaikat tak ada fakir-miskin dan anak yatim?

Ketiga, di antara gema istigfar, mereka dengar umat Islam berdoa memohon kepada Tuhan apa saja yang mereka harapkan. Mereka memohon berbagai peruntungan: petani mohon panen; pedangan mohon laba; pegawai mohon kenaikan gaji; si pejabat mohon kekuasaan dilanggengkan; si penganggur mohon pekerjaan; si sakit mohon sembuh; si gadis mohon pacar yang saleh; si duda mohon janda muda; dan seterusnya. Doa-doa itu terdengar merdu. Malaikat tahu, Tuhan berbahagia mendengar semua doa.

Dan malaikat, apakah yang perlu mereka mohon? Mereka tidak memohon apa pun.

Melihat umat Islam melakukan tiga hal itu, malaikat menangis cemburu. Tangis mereka memecah langit, mendebur laut.

“Berbahagialah manusia yang membuat para malaikat cemburu.”

Senin, 31 Januari 2011

Mahkota Al-Qur’an

Diceritakan oleh Jamal D. Rahman

Ia mengucapkan salam pada lelaki itu. Ia datang dengan hormat yang dalam. Sudah lama ia mengenalnya. Ia yakin sang lelaki yang kini berdiri di hadapannya masih mengenalnya, sebab dahulu dia yang sering menemuinya, dengan rasa cinta yang dalam. Maka alangkah kecewa ia ketika tahu bahwa ternyata sang lelaki tak mengenalnya lagi. Tapi tak lama kemudian tensi kecewanya menurun, sebab ternyata dia tampak mengingat-ingat, seakan mulai sadar bahwa yang datang kepadanya memang pernah dikenalnya. Ia lihat lelaki itu terus mengingat-ingat, dan tampak ingatannya mulai tumbuh tapi belum penuh.
“Anda siapa?” akhirnya dia bertanya dengan masygul setelah gagal mengembalikan ingatannya.
“Saya Al-Qur’an,” jawabnya. “Saya Al-Qur’an yang dulu sering Anda baca dengan penuh cinta.”
Lelaki itu terkejut. Al-Qur’an? Dia bertanya dalam hatinya dengan rasa heran dan takjub. Dia ingat kini, dulu dia memang rajin membaca kitab suci itu.
Sekali lagi ia memberi hormat. “Mari saya antar Anda berjumpa dengan Allah Swt.,” ajak Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh. “Saya bertugas mengantar orang-orang yang dulu rajin membaca saya untuk berjumpa dengan Allah Swt.”
Alangkah bahagia lelaki itu. Siapa tak ingin berjumpa dengan Allah? Siapa tak bahagia berjumpa dengan Allah?
Di hadapan Allah, semua terdiam. Tak ada kata-kata. Lelaki itu tertegun. Takjub. Tak bisa berkata. Tak bisa apa-apa.
Lelaki itu semakin tertegun ketika melihat Tuhan memberikan mahkota raja dan dua jubah kebesaran kepada Al-Qur’an. Lelaki itu berharap Tuhan memberikan mahkota dan jubah kebesaran kepadanya juga. Tapi dia harus menelan kecewa.
Al-Qur’an tahu siapakah yang berhak memakai mahkota dan jubah kebesaran itu. Ia segera mengenakan mahkota pada lelaki di hadapannya, disaksikan Tuhan. Dia mengenakan mahkota Tuhan, di hadapan Tuhan pula. Berbahagialah lelaki itu. Bagaimanakah kebahagiaan sang lelaki mesti dilukiskan?
Lelaki itu kemudian mengangkat tangan kanannya, bersiap mengenakan jubah kebesaran. Tapi sekali lagi dia harus menelan kecewa. “Jubah ini bukan untukmu,” kata Al-Qur’an.
Lelaki itu segera membangun rasa puas atas mahkota yang dikenakannya. Dan tak lupa bersyukur.Adakah yang lebih agung dibanding memakai mahkota Tuhan?
Al-Qur’an lalu pamit. Ia akan pergi dengan dua jubah kebesaran yang tadi diberikan Tuhan. Ia memberi hormat. Lalu mengucapkan salam sebelum akhirnya pergi entah ke mana.
Lelaki itu tertegun, takjub, tak bisa berkata, tak bisa apa-apa. Ia didekap oleh rasa haru dan bahagia, seakan semesta seluruh rahasia terbentang di matanya.
Dan jubah kebesaran itu?
Al-Qur’an tiba-tiba menyapa sepasang suami-istri. Mengucapkan salam, memberi hormat, seraya memperkenalkan diri. Lalu, ia memohon agar suami-istri itu memakai jubah kebesaran yang dibawanya. “Ini untuk kalian berdua,” kata Al-Qur’an. Alangkah agung sepasang suami-istri yang memakai jubah kebesaran itu.
“Tapi amal ibadah kami takkan cukup untuk kami memakai jubah ini,” kata sang suami. “Jubah ini terlalu agung untuk kami.”
“Tidak, kalian berhak atas jubah ini.”
“Benarkah?”
“Benar.”
“Apa gerangan yang membuat kami berhak memakai jubah ini?”
“Kalian tidak percaya?”
“Bukan. Sekadar menenangkan hati kami.”
“Anak kalian adalah seorang pembaca Al-Qur’an. Jika kalian berjumpa dengan lelaki yang memakai mahkota, itulah anak kalian. Temuilah dia di hadapan Allah Swt. yang kini sedang menunggu kedua orangtuanya.”{}

Selasa, 25 Januari 2011

Pengantar Matan Ghoyah wa Taqrib

Acara: Kuliah Subuh Ahad ke 3 tiap bulan
Waktu: 05:00-06:30
Pengasuh: Drs. Hasan Anshori, MA.

Kitab "Matan Ghoyah wa Taqrib" ditulis oleh (imam) Al Isfahani pada sekitar tahun 500 Hijrah [perlu koreksi]. Banyak kitab klasik berikutnya yang diturunkan dari (struktur) kitab ini. Diantaranya, kitab yang berisi syarah, yaitu Fathul Quraa' oleh penulis berikutnya (perlu koreksi). Kitab kedua ini pun dibuatkan syarahnya lagi yang dikenal dengan Al Bajuri, sesuai nama penulisnya.

Kitab Matan Ghoyah wa Taqrib menggunakan rujukan madzhab Imam Syafii.

Sejarah ringkas 4 Imam madzhab

1. Imam Abu Hanifah/madzhab Hanafi (70 tahun, 10-80 Hijriyah)

Riset atas hasil karya Imam Abu Hanifah dari menyimpulkan bahwa hadits yang dibawakan beliau r.a. sedikit atau secara kuantitatif, kajian beliau lebih banyak menggunakan rasio dengan porsi 25-75. Madzhab Imam Abu Hanifah r.a. banyak digunakan di Pakistan.

Dari sisi ibadah, Imam Abu Hanifah r.a. melaksanakan sholat malam sebanyak separuh malam, dengan bacaan selurh Alquran. Dalam riwayat, ketika beliau r.a. mengetahui hal ini disiarkan oleh orang lain, maka beliau r.a. memperpanjang sholat malamnya hingga seluruh malam. Hal ini beliau r.a. kerjakan selama 30 tahun.

Salah satu karya ulama Pakistan yang menggunakan logika madzhab Imam Abu Hanifah r.a. adalah karya Fathurrahman ketika beliau ada di Kanada. Ulama Indonesia yang menggunakan pendekatan serupa adalah Dr. Nurcholish Majid.

2. Imam Malik bin Anas (90/93H + 86 tahun)

Imam Malik r.a. dikenal mempunyai banyak guru sejumlah 700 orang. Madzhab beliau r.a. adalah yang banyak diikuti penduduk Madinah. Karya beliau adalah kitab Shahih Muatta'.

Ibadah beliau r.a. tidak banyak diberitakan.

3. Imam (Muhammad bin Idris Asy) Syafii, 150H + 54 tahun

Imam Syafii r.a. telah menghafal Alquran (sebagai hafizh) sejak usia 9 tahun. Pada usia 16 tahun, beliau diketahui tidak banyak makan (taqrir math'am atau mempersedikit makan). Beliau r.a. khatam Alquran setiap hari, dan pada bulan bulan ramadhan khatam 2 kali setiap hari. Imam Syafii r.a. mempunyai banyak karya, diantaranya adalah yang berisi kaidah-kaidah hukum (ushl fiqh).

4. Imam Ahmad bin Hambal (164H + 77 tahun)

Ciri dari pemahaman madzhab Hambali adalah pemahaman harfiahnya terhadap dalil naqli. Secara kuantitatif, porsi akal terhadap Alquran dan Hadits adalah 25-75. Meskipun demikian, ketika beliau r.a. melakukan pembahasan fiqh, porsi akalnya lebih besar, sehingga dalam konteks fiqh bahasan beliau r.a. sering dikeluarkan dari perbandingan madzhab.

Madzhab Hambali umum diikuti di Arab Saudi (pada masa Raja Saud), terutama dengan pembaharuan yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabi). Ciri dari gerakan Wahabi adalah gerakan dakwah yang frontal dan tidak mempertimbangkan situasi lokal. Beberapa ulama menyebutkan bahwa gerakan Wahabi melupakan kaidah hikmah dan hasanah atau kebijaksanaan.

Salah satu penerapan hukum yang banyak dilihat i Arab Saudi adalah pendapat bahwa sholat jamaah di Masjid adalah fardhu ain. Dengan dasar ini, polisi (pamong praja) bersama dengan seorang ulama berkeliling di jalan menyuruh mukminin segera pergi sholat jamaah.

Dari sisi ibadah, Imam Ahmad bin Hambal melakukan sholat tidak kurang dari 300 rakaat sehari semalam.

4 imam diatas mengikuti mainstream Imam Abul Hasan Al Anshari atau yang dikenal sebagai golongan Ahlussunnah wal Jamaah/Sunni. Dalam kajian ahlussunnah, ijtihad bersifat mutlak, dengan peralatan yang sempurna. Dalam arti, tiap perintah di Alquran dan Hadits diteliti hingga muncul kesimpulan mengenai hukumnya sebagai wajib atau boleh. [perlu penjelasan karena yang mencatat tidak terlalu faham]