*Ingatlah Lima Perkara Sebelum datang Lima perkara*

Senin, 31 Januari 2011

Mahkota Al-Qur’an

Diceritakan oleh Jamal D. Rahman

Ia mengucapkan salam pada lelaki itu. Ia datang dengan hormat yang dalam. Sudah lama ia mengenalnya. Ia yakin sang lelaki yang kini berdiri di hadapannya masih mengenalnya, sebab dahulu dia yang sering menemuinya, dengan rasa cinta yang dalam. Maka alangkah kecewa ia ketika tahu bahwa ternyata sang lelaki tak mengenalnya lagi. Tapi tak lama kemudian tensi kecewanya menurun, sebab ternyata dia tampak mengingat-ingat, seakan mulai sadar bahwa yang datang kepadanya memang pernah dikenalnya. Ia lihat lelaki itu terus mengingat-ingat, dan tampak ingatannya mulai tumbuh tapi belum penuh.
“Anda siapa?” akhirnya dia bertanya dengan masygul setelah gagal mengembalikan ingatannya.
“Saya Al-Qur’an,” jawabnya. “Saya Al-Qur’an yang dulu sering Anda baca dengan penuh cinta.”
Lelaki itu terkejut. Al-Qur’an? Dia bertanya dalam hatinya dengan rasa heran dan takjub. Dia ingat kini, dulu dia memang rajin membaca kitab suci itu.
Sekali lagi ia memberi hormat. “Mari saya antar Anda berjumpa dengan Allah Swt.,” ajak Al-Qur’an dengan sungguh-sungguh. “Saya bertugas mengantar orang-orang yang dulu rajin membaca saya untuk berjumpa dengan Allah Swt.”
Alangkah bahagia lelaki itu. Siapa tak ingin berjumpa dengan Allah? Siapa tak bahagia berjumpa dengan Allah?
Di hadapan Allah, semua terdiam. Tak ada kata-kata. Lelaki itu tertegun. Takjub. Tak bisa berkata. Tak bisa apa-apa.
Lelaki itu semakin tertegun ketika melihat Tuhan memberikan mahkota raja dan dua jubah kebesaran kepada Al-Qur’an. Lelaki itu berharap Tuhan memberikan mahkota dan jubah kebesaran kepadanya juga. Tapi dia harus menelan kecewa.
Al-Qur’an tahu siapakah yang berhak memakai mahkota dan jubah kebesaran itu. Ia segera mengenakan mahkota pada lelaki di hadapannya, disaksikan Tuhan. Dia mengenakan mahkota Tuhan, di hadapan Tuhan pula. Berbahagialah lelaki itu. Bagaimanakah kebahagiaan sang lelaki mesti dilukiskan?
Lelaki itu kemudian mengangkat tangan kanannya, bersiap mengenakan jubah kebesaran. Tapi sekali lagi dia harus menelan kecewa. “Jubah ini bukan untukmu,” kata Al-Qur’an.
Lelaki itu segera membangun rasa puas atas mahkota yang dikenakannya. Dan tak lupa bersyukur.Adakah yang lebih agung dibanding memakai mahkota Tuhan?
Al-Qur’an lalu pamit. Ia akan pergi dengan dua jubah kebesaran yang tadi diberikan Tuhan. Ia memberi hormat. Lalu mengucapkan salam sebelum akhirnya pergi entah ke mana.
Lelaki itu tertegun, takjub, tak bisa berkata, tak bisa apa-apa. Ia didekap oleh rasa haru dan bahagia, seakan semesta seluruh rahasia terbentang di matanya.
Dan jubah kebesaran itu?
Al-Qur’an tiba-tiba menyapa sepasang suami-istri. Mengucapkan salam, memberi hormat, seraya memperkenalkan diri. Lalu, ia memohon agar suami-istri itu memakai jubah kebesaran yang dibawanya. “Ini untuk kalian berdua,” kata Al-Qur’an. Alangkah agung sepasang suami-istri yang memakai jubah kebesaran itu.
“Tapi amal ibadah kami takkan cukup untuk kami memakai jubah ini,” kata sang suami. “Jubah ini terlalu agung untuk kami.”
“Tidak, kalian berhak atas jubah ini.”
“Benarkah?”
“Benar.”
“Apa gerangan yang membuat kami berhak memakai jubah ini?”
“Kalian tidak percaya?”
“Bukan. Sekadar menenangkan hati kami.”
“Anak kalian adalah seorang pembaca Al-Qur’an. Jika kalian berjumpa dengan lelaki yang memakai mahkota, itulah anak kalian. Temuilah dia di hadapan Allah Swt. yang kini sedang menunggu kedua orangtuanya.”{}

Tidak ada komentar: