Diceritakan kembali oleh Jamal D. Rahman
Agak tergopoh-gopoh, dengan wajah tegang, Umar ibnul Khatthab menghadap Rasulallah SAW, pada suatu siang yang terik.
Umar terdiam. Sedikit sesenggukan. Wajahnya merah. Matanya basah.
Setelah agak lama, pemuda itu berkata. Patah-patah suaranya.
Rasulullah merah padam seketika. Berdiri, diikuti Umar di sisi kanan belakangnya. Wajah mereka terbakar. Menyala. Berkobar.
Pemuda itu pun pergi, memanggul dosa yang tak kuasa lagi ditanggungnya. Dia berjalan terhuyung-huyung oleh gebalau perasaan berdosanya yang terasa lebih berat dari seluruh semesta. Dia harus meninggalkan bumi yang pahit ini, membawa seluruh perasaannya yang hancur berkeping-keping. Dia menembus gurun panas di bawah terik matahari yang membakar. Di tengah gurun itu, dia adalah sebutir debu yang tak berdaya, tanpa suara, tanpa apa, tanpa siapa. Dan dia pun rubuh. Terjerembab. Mencium debu.
“Ada apa?” bertanya Rosulullah dengan nada masygul.Dilihatnya wajah Umar berkaca-kaca dan memerah, menahan amarah. Tapi di balik garis-garis geram di wajah Umar, Rosulullah melihat juga perasaan bingung. Mungkin juga rasa takut. Umar berusaha menyembunyikan galau perasaannya. “Tenang, sahabatku. Tenangkan hatimu,” Rosulullah menenangkan Umar.
Umar terdiam. Sedikit sesenggukan. Wajahnya merah. Matanya basah.
“Ada apa?”Dengan merunduk, pemuda itu masuk. Dia berjalan pelan dengan langkah penuh ketakutan. Dia tak berani menatap Umar, apalagi Rosulullah. Dia terus merunduk, sesenggukan. Wajahnya pucat. Airmatanya mulai cucur. Tak pernah dia merasa sedemikian ketakutan seperti saat ini. Tak pernah merasa bersalah seperti pada siang seterik ini.
“Seorang pemuda. Seorang pemuda, Rasulullah.”
“Seorang pemuda? Ada apa dengan pemuda itu?”
“Dia di luar.”
“Suruh dia masuk.”
“Kenapa kamu?”Pemuda itu masih sesenggukan. Tak kuasa menjawab Rosulullah.
“Kenapa kamu?” Rosulullah mengelus bahu sang pemuda.Hening. Rumah Rosulullah sunyi. Bumi diam. Langit diam. Umar diam.
Setelah agak lama, pemuda itu berkata. Patah-patah suaranya.
“Saya,” katanya dengan suara bergetar, “tak berani menghadapmu, wahai Rosul. Itu sebabnya saya menghadap Sayidina Umar. Entah kenapa, Sayidina Umar membawa saya menghadapmu, ya Rasul.”Pemuda itu menggeleng. Lalu katanya, “Saya seorang pendosa.”
“Katakan apa yang kaukatakan padaku tadi,” kata Umar, antara rasa marah dan kasihan.
“Saya malu.”
“Kenapa kamu?” tanya Rosullah.
“Malu saya, Rasul.”
“Sesuatu kauceritakan pada Umar tapi kausembunyikan dariku?”
“Saya takut, Rosul.”
“Pernahkah kaulihat aku marah?”
“Allah Maha Pengampun. Dosa apa yang telah kaulakukan?”Pemuda itu terhenyak. Mulutnya terkunci. Merunduk lebih rendah lagi. Sesenggukan lebih keras lagi. Wajahnya pucat pasi.
“Besar, sangat besar. Dosa yang saya lakukan sangat besar.”
“Apa?”
“Saya takut sekali.”
“Apakah kamu membunuh orang?”
“Dosa saya lebih besar daripada dosa membunuh orang.”
“Kamu syirik?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding kasih sayang Allah?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding ampunan Allah?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding singgasana Allah?”
“Dosa saya lebih besar.”
“Lebih besar mana dosamu dibanding Allah SWT?”
“Ayo, sayang, ceritakan apa dosa yang telah merisaukanmu,” Rasul membujuk lembut. “Allah lebih besar dibanding dosamu, bukan?”
“Saya...,” terbata-bata dia berkata, “adalah seorang penggali kubur. Kemaren, seorang gadis cantik sekali dikubur di pekuburan tempat saya bekerja. Sudah lama saya jatuh hati pada gadis berkulit langsat itu. Dalam keadaan meninggal pun, saya tetap jatuh hati padanya. Dan terjadilah dosa itu?”
“Dosa apa, Pemudaku?”
“Ketika kuburan sepi sekali, saya gali kuburannya. Parasnya masih cantik sekali. Tak pernah saya melihat perempuan secantik mayat di depan saya itu. Saya ...,” dia menahan airmatanya.
“Kau apakan dia?” Rasul menahan nafas.
“Saya ... saya menyetubuhinya,” dia meraung sekeras-kerasnya. Telungkup. Bersujud.
Rasulullah merah padam seketika. Berdiri, diikuti Umar di sisi kanan belakangnya. Wajah mereka terbakar. Menyala. Berkobar.
“Pergi kamu!” Rasul mengusir pemuda itu. Dia marah besar. Dia murka.Semesta terbakar hening. Sunyi pekak. Raung tangis hati sang pemuda membelah-belah langit. Matahari sejengkal di atas ubun-ubun.
Pemuda itu pun pergi, memanggul dosa yang tak kuasa lagi ditanggungnya. Dia berjalan terhuyung-huyung oleh gebalau perasaan berdosanya yang terasa lebih berat dari seluruh semesta. Dia harus meninggalkan bumi yang pahit ini, membawa seluruh perasaannya yang hancur berkeping-keping. Dia menembus gurun panas di bawah terik matahari yang membakar. Di tengah gurun itu, dia adalah sebutir debu yang tak berdaya, tanpa suara, tanpa apa, tanpa siapa. Dan dia pun rubuh. Terjerembab. Mencium debu.
“Tuhanku,” dia bergumam dengan sisa tenaga di tenggorokannya, “akulah pendosa. Akulah pendosa, ya Tuhanku. Telah kudatangi Rasul-Mu, berharap memberiku syafaat agar aku diterima kembali di sisi-Mu. Tapi, Kautahu, karena dosaku tak tertanggungkan, dia pun mengusirku.”Tenggorokan yang kering. Matahari membakar gurun yang sunyi. Mata yang basah. Angin yang mengipas-ngipas di atas debu.
“Maka kini aku mengetuk pintu-Mu, memohon kiranya Kau memberiku syafaat bagi hamba-Mu pendosa ini. Aku tahu, Engkau Maha Pengasih, dan Engkaulah satu-satunya harapanku. Jika tidak, kirimkanlah kiranya kepadaku api. Bakarlah aku sekarang juga, sebelum Kaubakar aku dalam api neraka ....”
***
Jibril mengetuk pintu Rasul.
Tiba-tiba Rasul, “Panggil ke mari pemuda tadi!” Suaranya pelan. Nyaris tak terdengar.
Pemuda itu tiba di rumah Rasul tepat ketika sang baginda shalat Magrib, menjadi imam para sahabat yang agung. Ketika didengarnya Rasul membaca surat At-Takatsur, tubuh pemuda mendadak dingin. “Bermegah-megah telah membuatmu lalai,” terdengar suara Rasul bergetar, menggetarkan langit-langit batin sang pemuda yang kini terasa akan runtuh. Tubuh pemuda itu kian dingin. “Sampai kau masuk ke liang kubur,” Rasul melanjutkan ayat suci.
Sampai kau masuk ke liang kubur. Terbayang kuburan tempatnya bekerja. Terbayang kuburan gadis yang pernah digalinya. Terbayang wajah gadis yang ... tiba-tiba matanya gelap. Dia rubuh. Tanpa suara. Tanpa debu.[]
“Salam Tuhan untukmu, ya Rasul.”Semesta diam. Matahari diam. Rasul diam. Umar diam, menduga-duga hati Rasul yang kini merunduk.
“Wa’alaikum salam.”
“Junjunganku, izinkan aku menyampaikan pesan Allah untukmu. Dia bertanya, ‘Engkaukah yang menciptakan hamba-Ku?’”
“Allah lah yang menciptakan mereka, yang menciptakan aku.”
“Engkaukah yang memberi mereka rejeki?”
“Allah lah yang memberi rejeki.”
“Engkaukah yang menerima taubat hamba-Ku?
“Allah lah yang menerima taubat dan mengampuni hamba-Nya.”
“Ya Rasul, inilah firman Allah untukmu, ‘Telah Kuutus hamba-Ku kepadamu untuk mengakui sebagian dosanya, tapi kau usir dia justru karena dia mengaku telah berbuat dosa. Bagaimana jika hamba-Ku yang lain datang kepadamu dan mengakui segunung dosa mereka? Kuutus engkau jadi Rasul sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Ku. Maka jadilah pemberi syafaat untuk memaafkan mereka yang berdosa. Yang berdosa besar sekalipun.’ ”
Tiba-tiba Rasul, “Panggil ke mari pemuda tadi!” Suaranya pelan. Nyaris tak terdengar.
***
Sampai kau masuk ke liang kubur. Terbayang kuburan tempatnya bekerja. Terbayang kuburan gadis yang pernah digalinya. Terbayang wajah gadis yang ... tiba-tiba matanya gelap. Dia rubuh. Tanpa suara. Tanpa debu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar