Oleh Jamal D. Rahman
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ
(Rasulullah SAW bersabda: “Al-Qur’an ini diturunkan atas 7 huruf.”) (Shahîh al-Bukhârî, Hadis Nomor 4608).
Kita tidak tahu apa maksud sesungguhnya 7 huruf dalam Hadis di atas. Para ulama berbeda pendapat soal itu. Ada yang mengatakan 7 huruf itu berarti 7 jenis bacaan atau seni baca Al-Qur’an; ada yang mengatakan 7 huruf itu sekadar angka untuk menunjukkan banyak —jadi tidak menunjuk pada angka yang sesungguhnya. Yang pasti, 7 huruf tidak mungkin berarti apa yang biasa kita fahami secara harfiah tentang 7 huruf. Al-Quran jelas menggunakan seluruh huruf Hijaiyah yang berjumlah 28, 29, atau 30 huruf (perbedaan jumlah huruf ini tergantung pada apakah hamzah dan lam-alif dianggap huruf tersediri atau tidak). Bagaimanapun, tampaknya kita tidak akan menemukan pengertian yang benar-benar memuaskan tentang maksud 7 huruf dalam Hadis di atas.
Yang dapat kita ketahui dengan pasti adalah angka 7 sering digunakan dalam Al-Qur’an. Misalnya, Al-Qur’an mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan 7 langit (a.l. QS 41:12 dan QS 65:12). Di tempat lain dikatakann pula bahwa Allah menciptakan 7 langit bertingkat-tingkat (a.l. QS 67:3 dan QS 71:15). Ketika melukiskan keutamaan infaq, Al-Qur’an mengibaratkannya dengan sebiji benih yang menumbuhkan 7 bulir atau cabang (QS 2:261). Al-Qur’an juga menyebut 7 laut, 7 hari, 7 malam, dan 7 pintu neraka.
Dalam kisah Nabi Yusuf (QS 12:43, 12:46-48), diceritakan bahwa raja Mesir bermimpi 7 ekor sapi betina gemuk dimakan oleh 7 ekor sapi betina kurus. Nabi Yusuf, yang ketika itu sedang dipenjara, menafsirkan mimpi itu dengan baik. Kata Nabi Yusuf, mimpi itu berarti, Mesir akan mengalami musim panen selama 7 tahun dan akan mengalami masa paceklik selama 7 tahun berikutnya. Nabi Yusuf menyarankan agar hasil masa panen dihemat sebagai persediaan kebutuhan pada masa paceklik. Sang raja puas dengan tafsir mimpi itu, dan karenanya Nabi Yusuf dibebaskan, bahkan diangkat jadi pejabat tinggi kerajaan. Begitulah angka 7 telah “menyelamatkan” bahkan “menaikkan” posisi sosial-politik Nabi Yusuf di Mesir, di mana dia mula-mula adalah seorang budak.
Di samping angka 7 digunakan secara tersurat seperti contoh-contoh di atas, dalam beberapa bagian Al-Qur’an angka 7 digunakan secara tersirat. Yang menarik, angka tujuh digunakan secara tersirat justru pada hal-hal sangat penting dan mendasar. Pertama, angka 7 digunakan secara tersirat dalam wahyu pertama. Kita tahu, ayat pertama dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad berbunyi iqra’ bismi robbikalladzî khalaq (“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”). Sebagai sebuah kalimat, wahyu pertama ini terdiri dari 7 kata (unsur). Yaitu (1) iqra’ (bacalah), (2) bi (dengan), (3) ismi (nama), (4) robbi (Tuhan), (5) ka (mu), (6) alladzî (yang), (7) khalaq (menciptakan). Jadi, sejak wahyu pertama Al-Qur’an secara tersamar sudah menggunakan angka 7.
Kedua, di dalam Al-Qur’an, proses penciptaan dirumuskan dengan kun fayakûn (“Jadilah, maka ia pun jadi”). Kun fayakûn bahkan merupakan konsep penciptaan yang sangat dasar, yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta baik secara makro maupun mikro pada tingkat metafisis. Nah, kalimat atau konsep kun fayakûn (“Jadilah, maka jadi”) ini terdiri dari 7 huruf (dalam aksara Arab), yaitu kâf, nûn, fâ’, yâ’, kâf, waw, dan nûn.
Ketiga, Al-Qur’an menyebut 7 ayat yang dibaca berulang-ulang atau yang paling sering dibaca (as-sab`u-l matsânî). Menurut para ulama, 7 ayat yang dibaca berulang-ulang itu adalah surat Al-Fatihah, yang memang terdiri dari 7 ayat. Sudah tentu surat Al-Fatihah —yang dibaca pada setiap raka’at shalat itu— merupakan surat yang sangat penting, yang karenanya disebut juga sebagai ibunya Al-Qur’an (umm-u ‘l-Qur’ân). Nah, sekali lagi, surat pertama dalam Al-Qur’an itu terdiri dari 7 ayat.
Keempat, yang tak kalah penting, atau bahkan lebih penting lagi, kalimat tauhid yang merupakan dasar iman seseorang juga terdiri dari 7 kata, baik dalam bahasa Arab maupun dalam terjemahan Indonesianya. Kalimat tauhid itu adalah lâ ilâha illal-Lâh Muhammadur rosûlul-Lâh (“tiada Tuhan selain Allah, Muhammad rasul Allah”).
Perlu ditambahkan lagi beberapa ibadah yang berkaitan dengan angka 7. Yaitu, thawaf mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali. Sa’i, berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, dilakukan sebanyak 7 kali. Di Mina, jama’ah haji melempar tiga jamarat —yang merupakan lambang setan itu— masing-masing dengan 7 kerikil.
Kalau Allah SWT sering menggunakan angka 7, baik secara eksplisit maupun implisit, maka pastilah penggunaan angka 7 itu bukan kebetulan. Apalagi angka 7 digunakan dalam hal-hal mendasar seperti kalimat tauhid, surat Al-Fatihah, dan amal-ibadah. Kalau seseorang seringkali menggunakan pakaian warna hijau, misalnya, apalagi dalam acara-acara penting, maka pastilah itu bukan kebetulan. Kita bisa menduga bahwa warna hijau adalah warna kesukaannya. Demikianlah maka kalau Allah sering menggunakan angka 7, kiranya patut kita renungkan bahwa Allah SWT tampaknya menyukai angka 7. Dalam konteks itulah, kita bisa faham kenapa beberapa tradisi intelektual dan tradisi keagamaan dalam masyarakat Islam dikaitkan dengan angka 7. Dalam tasawuf, misalnya, kita kenal ajaran martabat 7, dan dalam tradisi doa bersama (tahlilan) untuk orang meninggal dikenal hari ke-7.
Maka, kalau Nabi Muhammad mengatakan bahwa Al-Quran diturunkan dalam 7 huruf, tampaknya beliau memang tidak bermaksud mengatakan sesuatu dengan maksud yang jelas tentang angka 7 itu. Yang beliau lakukan adalah menyebut angka yang disukai oleh Allah SWT, dan membiarkan angka tersebut tetap mengandung rahasia ilahi. Wallâhu a`lamu bisshawâb. []